A.
FILSAFAT
KEBEBASAN INFORMASI
Kebebasan informasi (freedom of
information) yang menyangkut kebebasan
menyatakan pendapat (freedom of expression) dan kekebasan pers (freedom of
press) merupakan bagian dari komunikasi politik yang menyatu dengan dimensi
lain seperti sistem politik, ideologi, budaya politik dan demokrasi. Hal
tersebut telah diaplikasikan dalam negara dengan sistem demokrasi liberal
dengan keunikan dan kekhasan masing-masing negara.
1.
Kebebasan
Informasi dan Media Massa
Kebebasan informasi itu
merupakan gagasan yang modern dan mencakup juga kebebasan pers. Dalam hal itu
juga pers dimaksudkan semua media massa yang melakukan kegiatan jurnalistik dan
bentuk penyiaran serta informasi kepada publik. Kebebasan pers juga berarti
kemerdekaan untuk menggunakan semua alat komunikasi massa (surat kabar, film,
radio, dan televisi).
Kebebasan memiliki
sudut pandang berbeda menurut pandangan hidup dan ideologi masing-masing :
1. Seorang
egoistic eudaemonist akan mengartikan kebebasan itu kemerdekaan, sebagai suatu
kebahagiaan untuk diri semata-mata.
2. Seorang
universalistic eudaemonist akan mengartikan kebebasan itu kemerdekaan akan
memberikan kebahagiaan bagi orang banyak.
3. Kebebasan
di negara liberalis-kapitalis dipahami sebagai bebas dari kontrol negara.
4.
Kebebasan di negara
komunis diartikan sebagai bebas dari kontrol kapitalis.
Semua hal di atas
merupakan suatu gejala kemasyarakatan yang perkembangannya sejalan dengan
masyarakat itu sendiri, pasti berbeda-beda sesuai ideologi, filsafat hidup dan
filsafat politik yang dianut oleh masyarakat itu sendiri.
Sesungguhnya tidak
kebebasan yang mutlak. Sebab kebebasan seseorang akan dibatasi oleh kebebasan
yang dimiliki oleh orang lain. Hidup seseorang tidak dapat dipikirkan tanpa
orang lain. Menurut Aristoteles Manusia adalah zoom politicon.
2. Kebebasan Negatif dan
Kebebasan Positif
Kebebasan Negatif
disebut juga sebagai ‘kebebasan dari’ (freedom
from) kontrol kekuasaan politik, yang juga lahir dari sistem pers libertarian,
yaitu kebebasan yang mengutamakan hilangnya kendala eksternal, seperti sensor,
surat izin, dan pemberedelan.
Kebebasan Positif
disebut juga ‘kebebasan untuk’ (freedom
for) mencapai tujuan tertentu terutama kesejahteraan rakyat yang berkembang
dari konsep kebebasan yang memiliki tanggungjawab sosial (social
responsibility)
3. Kebebasan dan tanggung
jawab pers
Kebebasan dan
tanggungjawab pers sebagai pencerminan hubungan pers dengan pemerintah dan
masyarakat senantiasa diatur melalui peraturan atau undang-undang yang
tercakupdalam politik komunikasi (kebijakan komunikasi) sebagai salah satu
bagian dalam kajian politik.
Dari peraturan atau
undang-undang mengenai pers itulah kemudian
dapat dipahami secara normatif hubungan antara pers dengan pemerintah dan
masyarakat yang dapat disebut sebagai suatu sistem pers suatu negara. Hal itu
berkaitan dengan bentuk kebebasan pers, sebagai bagian dari kebebasan
menyatakan pendapat atau kebebasan informasi.
Ada empat macam teori
pokok tentang pers : (1) Teori pers otoritarian (Plato-Machieveli) ; (2) Teori
Pers Libertarian (Milton, Locke, Mill dan Zaman Terang) ; (3) Teori Pers dan
Tanggungjawab sosial (revolusi komunikasi) dan (4) Teori Pers Komunis-Soviet
(Marx, Stalin, dan Lenin dan kediktatoran partai komunis uni soviet)
Selain 4 teori di atas
ada juga teori pers yang dikenalkan oleh McQuil yaitu teori media pembangunan
dan Teori Media Demokratik Partisipan dan Anwar Arifin mengenalkan Teori pers
pancasila yang dilatarbelakngi ideologi pancasila yang berkembang di Indonesia.
Dalam sejarah pers
dikenal juga model hubungan antara pers dan pemerintah yang dikenal dengan pers
pemerintah.
B.
TUJUH
FILSAFAT DAN TEORI KEBEBASAN PERS
Ada tujuh teori pers yang ditulis oleh
Siebert, Peterson, dan Schram yang akan dijelaskan sebagai berikut :
1.
Filsafat
dan Teori Pers Otoritarian
Filsafat politik
otoritarian dibangun dari asumsi dasar bahwa manusia padumumnya tidak mampu menemukan kebenaran,
kecuali jika dibimbing oleh raja atau kaum bangsawan. Raja bangsawan dianggap
memiliki banyak kelebihan dibanding rakyat jelata dan semua kuasa rakyat
(jelata) di tangan mereka termasuk klaim kebenaran. Maka disebut juga dengan
negara kekuasaan.
Filsafat otoritarian
dan sistem politik otoritarian melahirkan teori pers yang tidak jauh dari
sistem negara tersebut. Pers otoritarian diletakkan sebagai pelayan negara dan
harus tunduk pada kebijakan negara serta bertanggungjawab padanya.
Ada 5 prinsip dasar
dalam teori pers otoritarian, Yakni pers :
a. Harus
tunduk pada penguasa
b. Tidak
boleh merusak wewenang negara.
c. Seyogyanya
mengindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau
dominannya mayoritas.
d. Perlu
ada izin terbit dan penyensoran oleh negara,
e. Wartawan
tidak memiliki kebebasan dalam organisasi persnya.
f. Bentuk
pers ini pada perkembangannya mengalami kemunduran, dan melahirkan
berkembangnya gagasan dan ide kebebasan individu dalam bentuk individualisme
dan liberalisme.
2.
Filsafat
dan Teori Pers Libertarian
Asumsi dasar teori ini
adalah bahwa manusia adalah makhluk yang berakal dan dengan kekuatan akalnya ia
mampu menemukan kebenaran. Manusia pada hakikatnya dilahirkan sama (egaliter)
dan tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya (raja dan rakyat). Tidak ada
keistimewaan raja dibanding rakyat jelata dalam kekuasaan. Sebaliknya kekuasan
berada di tangan rakyat, dengan prinsip
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Syarat berkuasa harus mendapat
dukungan rakyat, cirinya harus poluler (dikenal luas) atau populis (merakyat).
Dari sini lahirlah
paham Liberal yang menyatakan bahwa manusia pada intinya bisa menentukan jalan
hidupnya sendiri. Ini mendorong lahirnya sistem kapiltalisme dalam ekonomi dan
demokrasi dalam politik. Demokrasi dikembangkan untuk melindungi kepentingan
kaum kapitalis dan sekaligus kepentingan individu. Dan negara berfungsi sebagai
NACTHWACHRSTAAT atau NEGARA JAGA MALAM, menjaga kepentingan individu dan kaum
kapitalis.
Individualisme dan
liberalisme melahirkan sistem politik liberal atau sistem politik demokrasi
yang pada akhirnya juga melahirkan pers yang liberal atau libertarian. Pers
dipandang sebagai mitra dalam mencari kebenaran, sehingga pers bukan alat penguasa namun
sebagai alat individu mengawasi kekuasaan agar kebenaran dapat menampakkan
diri. Pers dimiliki oleh swasta, tidak memerlukan izin dan sensor dari negara.
Ada beberapa prinsip dalam jenis pers ini ;
1. Publikasi
seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pihak lain.
2. Penerbitan
dan pendistribusian tanpa izin dan terbuka.
3. Kecaman
kepada pemerinta, pejabat atau partai politik tidak dipidanakan.
4. Tidak
ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
5. Tidak
ada pembatasan hukum dalam aktivitas pengumpulan informasi untuk kegiatan
publikasi.
6. Tidak
ada pembatasan dalam aktivitas pengumpulan informasi untuk kegiatan publikasi.
7. Tidak
ada pembatasan dalam publikasi dan penyebaran informasi ke semua wilayah
8.
Wartawan mampu menuntut
otonomi profesional yang sangat tinggi dalam organisasi mereka.
Dalam sistem
libertarian ini memang masih ada campur negara, namun sebatas sebagai pembuat
regulasi, sisanya informasi dikuasai oleh para kapitalis yang memanfaatkan
betul sistem ini untuk mengguritakan bisnisnya, termasuk bisnis media. Sistem
ini banyak ditentang karena dianggap terlalu bebas dan cenderung mengarah
kepada kebebasan negatif.
3.
Filsafat
dan Teori Pers Tanggung jawab Sosial
Sistem Pers libertarian
mengalami revisi dan pengembangan, dan kecenderungan empiris melahirkan teori
pers tanggungjawab sosial yang berasal dari orang amerika yang membentuk komisi
kebebasan pers (the comission on freedom of the press) yang diketuai oleh
Hutchins (1974).
Teori ini lahir
didorong oleh tumbuhnya kesadaran bahwa pasar bebas telah gagal untuk memenuhi
janjinya akan kebebasan pers dalm mewujudkan kemaslahatan yang diharapkan
masyarakat. Teori ini adalah integrasi antara individualisme dan
kolektivisme. Teori ini menganggap bahwa
tanggung jawab sosial pers merupakan benteng terhadap otoritarisme dan
sekaligus menjaga demokrasi dari bahaya monopoli media dan infrmasi dari
segilintir pemodal besar.
Dalam teori ini
sebenanrnya pers tetap memiliki kebebasan, namun kebebasan yang tetap dapat
dipertanggungjawabkan. Teori ini mengawinka tiga prinsip yang berbeda ; prinsip
kebebasan dan pilihan individu ; prinsip kebebasan media ; dan prinsip kewajiban
media terhadap masyarakat.
Pers tanggungjawab
sosial disebut juga sebagai bentuk kebebasan untuk kemaslahatan masyarakat,
yang dikenal sebagai kebebasan positif.
Ada beberapa 7 prinsip
utama teori ini :
a. Media
seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu pada masyarakat.
b. Menetapkan
standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas, dan
keseimbangan.
c. Media
dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka humuku dan lembaga yang ada.
d. Media
menghindari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan, kejahatan dan ketertiban
umum, atau penghinaan terhadap minoritas dan etnik.
e. Media
harus bersifat pluralis, kebhinekaan dan kesempatan semua pihak untuk
menngungkapkan sudut pandang dan hak jawab.
f. Masyarakat
dan publik memiliki hak dalam mengharapkan standar prestasi yang tinggi dalam
intervensi dapat dibenarkan dalam mengamankan kepentingan umum.
g. Wartawan
dan media profesional bertanggungjawab terhadap masyarakat dan juga kepada
pasar.
4.
Filsafat
dan Teori Media Demokratik Partisipan
Teori ini menghendaki
dikembangkannya media massa dalam skala kecil dan tersebar di sleuruh wilayah
dalam suatu negara, agar dapat menjamin keanekaragaman dan kebebasan informasi
publik.
Teori ini memusatkan
pada kebutuhan, kepentingan dan aspirasi penerima dalam masyarakat. Hal itu
berkaitan dengan hak akan informasi, hak untuk menjawab kembali, hak untuk menggunakan sarana komunikasi untuk
berinteraksi dalam kelompok masyarakat berskala kecil dan kelompok
kepentingan subkultur. Teori ini juga
menekankan bahwa isi media tidak tunduk pada pengendalian politik dan
ekonomi. Semua lapisan masyarakat punya
kesempatan yang sama dalam memanfaatkan media dan hak dilayani media sesuai
dengan kebutuhan.
Ada beberapa prinsip
utama dalam teori ini :
1. Semua
warga negara mendapatkan hak yang sama untu k pemanfaatan media dan hak untuk
dilayani media sesuai dengan kebutuhannya,
2. Organisasdi
dan isi media tidak tunduk pada pengendalian politik yang terpusat atau
pengendalian negara.
3. Media
eksis untuk melayani masyarakat dan bukan pada pemilik media.
4. Kelompok,
organisasi dan masyarakat lokal mampu memiliki media sendiri.
5. Media
berskala kecil lebih baik dari pada media berskala besar yang satu arah dan
diprofesionalkan.
6. Komunikasi
terlalu penting, sehingga tidak diabaikan oleh para ahli.
5.
Filsafat
dan Teori Pers Komunis Soviet.
Teori ini merupakan
antithesa dari teori liberal, dengan paradigma utama membebaskan pers dari
kontrol, pengendalian dan pemilikan pers
atau media oleh kapitalis dan
borjuis (pemilik modal) yang dianggapnya sebagai pers mata duitan. Media
dimiliki oleh partai komunis soviet sebagai satu-satunya partai yang berfungsi
sebagai alat bagi rakyat dalam mencapai masyarakat sosialis dan masyarakat
komunis. Inilah yang disebut dengan demokrasi rakyat.
Teori ini mengandung
konsepsi yang bersumber dari ajaran Marx dan Engel yang didukung oleh Lenin, dimana demokrasi rakyat
merupakan bentuk khusus demokrasi yang memenuhi fungsi diktator proletariat.
Dengan demikian demokrasi rakyat merupakan negara dalam transisi yang bertugas
untuk menjamin perkembangan negara ke arah sosialisme. Prinsipnya adalah bahwa pers dikuasai dan dikendalikan
oleh partai komunis dan dalam berbagai level dipadukan dengan instrumen lain
dari kehidupan politik.
Ada beberapa
prinsip teori pers ini ;
(1) media
melayani kepentingan dan berada di di bawah pengendalian kelas pekerja. (2)
media tidak dimiliki secara pribadi, (3) media harus melakukan fungsi positif
bagi masyarakat dengan; sosialisasi terhadap norma yang diinginkan, pendidikan,
informasi, motivasi dan mobilisasi, (4) media tangap terhadap keinginan
khalayaknya, (5) media hendaknya mendukung kegiatan progresif di dalam dan luar
negeri, (6) media perlu menyediakan pandangan yang purna (complete) dan
objektif tentang masyarakat dan dunia, dalam prinsip-prinsip
Marxisme-Leninisme. (7) Wartawan adalah ahli yang bertanggung jawabyang tujuan
dan cita-citanya serupa dengan kepentingan terbaik masyarakat.
6.
Filsafat
dan Teori Pers Media Pembangunan
Teori ini lahir seiring
berkembangnya Kajian tentang pembangunan pada era 1960-an sampai 1970-an.
Wilbur Schram melahirkan pula karyanya yang berjudul Mass Media and National
Development pada tahun 1964. Penerapan teori media pembangunan itu melahirkan
‘sistem media pembangunan’ terutama ‘sistem pers pembangunan’ pada sejumlah negara yang sedang berkembang.
Teori ini bertolak dari
filsafat politik yang dikenal juga dengan istilah “pembangunanisme” yang
bercirikan :
1. Memberikan pembenaran bagi negara melakukan intervensi
dalam berbagai bidang, termasuk pers/media massa.
2. Prioritas pembangunan ekonomi untuk menghilangkan
kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan dalam rangka pembangunan bangsa.
3.
Media massa
diposisikan sebagai sebagai objek pembanguna, terutama dalam membangun
infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia.
Secara umum teori media
pembangunan menekankan pada beberapa hal :
a. Media massa menerima dan melaksanakan tugas pembangunan,
sehingga kebebasan media hendaknya dibatasi sesuai dengan prioritas ekonomi dan
kebutuhan pembangunan. Dimana untuk kepentingan pembangunan pers wajib diatur
oleh pemerintah. (McQuil, 1996:118-121)
b. Di Negara berkembang yang secara umum sedang tumbuh,
dianggap perlu membatasi teori yang tidak sesuai dengan konteks budaya,
ekonomi, sosial dan politiknya. Karena masih terbatasnya SDM serta SDA yang
dikelola. Agar terbangunnya jati diri dan ketahanan nasional dalam pergaulan
internasional.
c.
Media harus turut
aktif dalam semua bidang pembangunan dan
menerima campur tangan pemerintah dalam segala hal , termasuk perkembangan
media itu sendiri yang juga sedang tumbuh berkembang.
Media memang
boleh dimiliki oleh swasta namun memiliki kebebasan yang terbatas sesuai dengan
program-program pembangunan pemerintah. Keniscayaan terbangunnya hubungan
harmonis antara media, masyarakat dan pemerintah menjadi titik tekan dalam
teori ini guna mensukseskan pembangunan.
Prinsip utama teori ini adalah
:
1. Media hendaknya melaksanakan tugas pembangunan positif
sejalan dengan kebijakan pemerintah.
2. Kebebasan media disesuaikan dengan agenda ekonomi dan
kebutuhan pembangunan masyarakat.
3. Media memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa
nasional.
4. Media memfokuskan berita dan informasinya pada negara
berkembang lainnya yang kaitan secara geografis, kebudayaan dan politik.
5. Negara memiliki hak terhadap media dalam bentuk campur
tangan, membatasi pengoperasian media, penyensoran, subsidi, dan pengendalian
langsung pada media.
6.
Wartawan dan
karyawan media memiliki tanggungjawab serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan
informasi dan penyebarluasannya.
Teori media
massa pembangunan dapat digolongkan ke dalam kebebasan positif , yaitu kebebasan
untuk pembangunan ekonomi demi kesejahteraan rakyat dan kebebasan untuk
pembangunan bangsa
7.
Filsafat
dan Teori Pers Pancasila
Teori ini
dikembangkan oleh Anwar Arifin yang berbasis pada filsafat politik dan ideologi
pancasila sebagai kelanjutan dari keputusan Dewan Pers yang merumuskan secara
singkat tentang definisi dan hakikat pers pancasila bagi Indonesia.
Hakikatnya
pers pancasila ini dalam banyak aspek memiliki kemiripan seperti teori pers
tanggungjawab sosial yang bersumber dari filsafat liberal dan berkembang di
Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Namun lebih menyesuaikan dengan jatidiri
bangsa indonesia yang bersumber pada filsafat politik dan ideologi pancasila.
Intinya Teori
ini lahir dari ideologi Pancasila yang telah mafhum dipahami bahwa asumsi
dasarnya adalah bahwa manusia adalah Makhluk Tuhan yang Maha Esa dan dilahirkan
dalam keadaan yang sama (egalitarian), memiliki akal pikiran untuk mencari dan
menemukan kebenaran. Walaupun
keterbatasan akal pikiran manusia tersebut menuntut adanya wahyu sebagai
pembimbing menuju kebenaran itu sendiri. Kehidupan berpusat pada kepada Tuhan
yang Maha Esa (theocentrism) bukan anthropocentrism atau berpusat pada manusia.
Dalam Ideologi
Pancasila, sistem dan komunikasi politik dibangun secara demokratis dengan
memadukan kolektivisme sebagai ciri
budaya bangsa Indonesia dengan individualisme
sebagai ciri liberalisme. Dalam konsep ini manusia dipahami sebagai makhluk
Monodualis, yakni sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial.
Singkatnya
Pers Pancasila adalah pers pembangunan. Pers yang berorientasi, bersikap, dan
bertingkah laku berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Teori ini
berprinsip pada sistem tanggungjawab sosial pers pancasila yang bebas dan
bertanggungjawab, adanya kode etik jurnalistik dan dewan pers.
Secara
Historis pers pancasila merupakan jalan tengah menghadapi pertentangan ideologi
pers di Indonesia sejak kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1980-an.
Secara
filosofis negara Indonesia diarahkan menjadi negara kesejahteraan
(wefvaarstaat), bukan negara jaga malam (nachtwachrstaat) seperti di negara
liberal atau negara kekuasaan (matchsstaat) seperti di negara komunis. Teori
pers dirumuskan bahwa pers tidak jauh dari rakyat juga tidak jauh dari
penguasa. Kebebasan dan tanggungjawab pers ditempatkan secara seimbang. Pers
juga boleh dimiliki oleh swasta dengan beberapa persyaratan yang menjadi simbol
kebebasan dan tanggungjawab, seperti sifat-sifat idiil, boleh kritik dan
kontrol, namun penerbitan pers melalui SIUPP.
Singkatnya
Pers Pancasila adalah sinergi antara beberapa teori pers yang sudah ada, baik
libertarian, komunis atau teori pers tanggungjawab sosial. Untuk memahami lebih jauh tentang pers
pancasila, berikut prinsip-prinsip utama dalam teori pers ini :
1. Pers memiliki kedudukan sebagai alat perjuangan yang mengutamakan kepentingan dan keselamatan
bangsa.
2. Pers memiliki kebebasan dan sekaligus tangungjawab
3. Pers dapat diterbitkan oleh pemerintah, maupun organisasi
sosial, organisasi politik dan swasta (pengusaha)
4. Pers dapat menerima pengawasan, pembinaan, dan bantuan
dari pemerintah.
5. Pers melakukan interaksi positif dengan pemerintahdan
masyarakat, dan menciptakan hubungan yang bersifat mitra.
6. Pers mengakui pentingnya ketakwaan kepada Tuhan YME,
sebagai sumber kekuatan moral dan etik.
7.
Pers memiliki rasa
kebersamaan dan kesetiakawanan sosial.
Selain itu
teori pers Pancasila juga mengawinkan beberapa prinsip yang bertentangan : (1)
kebebasan dan tanggungjawab, (2) tanggungjawab sosial dan tanggungjawab kepada
Tuhan, (3) kemitraan dan interaksi positif
pers dan (4) kebersamaan dan kesetiakawanan profesi, serta (6)
komersialisme dan idialisme.
C.
KOMUNIKASI POLITIK
DAN GLOBALISASI
Revolusi
pertanian yang dilanjutkan dengan Revolusi Industri serta lahirnya Revolusi
Informasi berdampak munculnya globalisasi, dimana dunia seperti Global Village.
Masyarakat yang berjarak secara geografis dengan berkembangnya tekhnologi
informasi dan komunikasi menjadi sangat dekat dan menimbulkan ledakan informasi
dalam masyarakat.
Revolusi
informasi juga berdampak pada proses komunikasi politik, terutama dengan
komunikasi internasional sebagai salah satu dimensi penting dalam komunikasi
politik.
1.
Globalisasi dan Dominasi Negara Maju
Ada tiga hal
penting yang mendukung arus komunikasi dan informasi di era globalisasi :
a. Paradigma freedom
of information atau kebebasan
b. Kemajuan ilmu dan tekhnologi (khususny tekhnologi
informasi)
c.
Kemajuan dalam
bidang Ekonomi dan Industri
Adanya
sejumlah negara, khususnya di Utara yang lebih dahulu menguasai tekhnologi di
banding negara-negara di bagian Selatan.
Kemajuan ini menimbulkan implikasi bahwa negara-negara di bagian
tersebut mendominasi negara –negara di Selatan yang memang sedang berkembang.
Istilahnya Negara tersebut berhasil mendominasi
perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasim sehingga berarti menguasai
isu-isu internasional yang dapat menjadi bahan untuk menguasai politik, budaya,
ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena arus informasi
internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang.
Arus informasi
tersebut tergambar dari begitu banyaknya berita-berita yang diakses yang
sesungguhnya belum tentu relevan dengan kebutuhan masyarakat di negara
tertentu. Namun banjirnya informasi melalui media cetak, apalagi media
elektronik membuat negara-negara berkembang tanpa daya menjadi konsumen atas
perkembangan informasi di negara-negara maju tersebut.
Globalisasi
yang telah melahirkan ketimpangan arus informasi itu pada akhirnya bermuara
pada terbentuknya, citra dan opini publik internasional yang timpang pula.
Siapa menguasai informasi dia menguasai Dunia. Itulah yang terjadi. Ditambah
lagi dengan perkembangan internet yang makin membuat informasi dari berbagai
belahan dunia dapat diakses.
Hal tersebut
juga didukung oleh Universal Declaration
of Human Right yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada
tahun 1948, yang isinya mengenai kesepakatan internasional tentang adanya
kebebasan informasi yang perlu dijamin serta kebebasan bersuara an terciptanya
arus informasi yang bebas.
Deklarasi
tersebut secara subjektif bagus sebagai
sebuah usaha membangun egalitarian di antara negara-negara maju dan berkembang,
namun pada prakteknya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di suatu
negara berpengaruh terhadap adanya dominasi negara maju terhadap penyebaran
informasi di negara berkembang. Sehingga opini negara maju lebih berpengaruh
ketimbang isu-isu yang ada di negara-negara berkembang. Kita menyebutnya
sebagai imperialisme dan kolonialisme gaya baru.
2.
Kebebasan dan penataan Informasi Internasional
Kebebasan arus
informasi tersebut lambat laun mendapatkan perhatian PBB, usaha melakukan
revisi terhadap deklarasi PBB tentang hal tersebut terus disuarakan oleh
organisasi dunia tersebut, terutama UNESCO sebagai organisasi yang mengurusi
bidang kebudayaan, pedidikan dan ilmu pengetahuan.
Harapan
lahirnya tatanan informasi yang adil dan berimbang, yang dikenal dengan Tatanan
Baru Informasi Internasional (New
Internasional Information Order) sejalan dengan Tatanan Baru Ekonomi
Internasional. Namun Negara maju seperti
Amerika dan Jepan yang telah ‘menikmati’ kebebasan tersebut berpendapat bahwa
hal tersebut hanyalah bagian dari evaluasi memperbaiki hubungan komunikasi
negara maju dan berkembang, bukan sebuah hal yang ekstrim mesti dilakukan
perubahan mendasar.
Upaya menata
kembali penyebaran arus informasi terus dilakukan walaupun globalisasi yang
menjadi dasarnya tak dapat dibendung, minimal usaha tersebut membuka ruang
diskusi akan pentingnya negara-negara maju memperhatikan arus informasi yang
layak atau tepat untuk negara-negara maju yang sedang berkembang secara
politik, ekonomi dengan tetap mempertahankan budaya dan jatidirinya sebagai
bangsa.
Lahirnya
Deklarasi San Joze pada tahun 1976 tentang kebijakan komunikasi terus mendorong
usaha-usaha sejenis yang dimotori oleh UNESCO, demi tercapainya kebijakan
komunikasi yang relevan dengan kenyataan nasional sebuah negara dan kebebasan
informasi yang tetap menghormati hak azasi manusia.
Pertentangan
akan usaha-usaha ini pun menimbulkan perbedaan tajam dalam menyikapi kebebasan
informasi dengan kebebasan berpendapat, ancaman munculnya pengaturan yang ketat
dan sensor dari pemerintah menjadi isu tersendiri yang muncul seiring usaha
penataan ini dilakukan. Terutama di negara-negara besar seperti Amerika dan
Jepang yang memiliki motif ekonomi di balik bebasnya arus informasi.
3.
Kebebasan Informasi dan Kepentingan Nasional
Perkembangan
Politik dunia yang melahirkan negara-negara nonblok yang salah satunya didukung
oleh Indonesia sebagai bagian dari negara yang sedang berkembang juga ikut
berpartisipasi dalam penataan informasi internasional. Beberapa kali konferensi
yang diadakan negara-negara tersebut melahirkan Kominok atau Konferensi
Menteri-menteri Negara-Negara Non Blok.
Salah satu
hasil Kominok di Jakarta melahirkan Himbauan Jakarta yang menghasilkan hal
berikut :
1. Meningkatkan peran serta dalam upaya internasional
mengurangi polarisasi yang tajam demi tercapainya perdamaian yang adil dan
abadi.
2. Terjalinnya kerjasama internasional di bidang komunikasi
yang berimbang dan bermartabat.
3. Meningkatkan kepercayaan diri negara-negara nonblok dalam
penyebaran informasi di dunia internasional dengan bekerjasama membangun
kantor-kantor berita perwakilan antar negara.
4. Menjauhkan pemberitaan yang tedensius dan merugkan
perkembangan internal dan eksternal negara-negara nonblok.
5. Media massa perlu memberikan respon positif terhadap peluang-peluang
yang ada demi tercapainya hubungan internasional dan terbukanya cakrawala baru
kemajuan di negara-negara berkembang.
6.
Memperkuat
kerjasama dengan PBB dan badan-badan khusus di bidang informasi dan komunikasi
sebagai saranan kemajuan universal negara-negara nonblok.
Indonesia
sendiri sebagai sebuah bangsa dan bagian dari anggota dunia internasional juga
perlu melakukan langkah-langkah positif seiring perkembangan menata kembali
informasi internasional.
Amerika yang
berada pada posisi negara maju tentulah mempertahankan liberalismenya yang
telah memberikan keuntungan secara politik dan ekonomi kepada kemajuan
negaranya.
Nah indonesia
juga mesti objektif memanfaatkan peluang kebebasan informasi tersebut bagi
perkembangan pembangunan domestik sambil tetap mempertahankan usaha mendapatkan
keseimbangan informasi dari perbedaan yang tajam antara kepentingan negara maju
dalam bidang ploitik dan ekonomi dengan usaha mempertahankan jatidiri dan
kepentingan nasional dalam negeri.
SUMBER : Ringkasan BAB II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami Apresiasi Setiap Pembaca dan Pengutip mencantumkan Blog kami jika melakukan pengutipan semua atau sebagian isi yang ada dalam BLOG ini,