Jumat, 20 November 2015

FILSAFAT & TEORI KEBEBASAN KOMUNIKASI POLITIK




A.    FILSAFAT KEBEBASAN INFORMASI
Kebebasan informasi (freedom of information) yang menyangkut  kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression) dan kekebasan pers (freedom of press) merupakan bagian dari komunikasi politik yang menyatu dengan dimensi lain seperti sistem politik, ideologi, budaya politik dan demokrasi. Hal tersebut telah diaplikasikan dalam negara dengan sistem demokrasi liberal dengan keunikan dan kekhasan masing-masing negara.

1.      Kebebasan Informasi dan Media Massa
Kebebasan informasi itu merupakan gagasan yang modern dan mencakup juga kebebasan pers. Dalam hal itu juga pers dimaksudkan semua media massa yang melakukan kegiatan jurnalistik dan bentuk penyiaran serta informasi kepada publik. Kebebasan pers juga berarti kemerdekaan untuk menggunakan semua alat komunikasi massa (surat kabar, film, radio, dan televisi).
Kebebasan memiliki sudut pandang berbeda menurut pandangan hidup dan ideologi masing-masing :
1.      Seorang egoistic eudaemonist akan mengartikan kebebasan itu kemerdekaan, sebagai suatu kebahagiaan untuk diri semata-mata.
2.      Seorang universalistic eudaemonist akan mengartikan kebebasan itu kemerdekaan akan memberikan kebahagiaan bagi orang banyak.
3.      Kebebasan di negara liberalis-kapitalis dipahami sebagai bebas dari kontrol negara.
4.      Kebebasan di negara komunis diartikan sebagai bebas dari kontrol kapitalis.
Semua hal di atas merupakan suatu gejala kemasyarakatan yang perkembangannya sejalan dengan masyarakat itu sendiri, pasti berbeda-beda sesuai ideologi, filsafat hidup dan filsafat politik yang dianut oleh masyarakat itu sendiri.
Sesungguhnya tidak kebebasan yang mutlak. Sebab kebebasan seseorang akan dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki oleh orang lain. Hidup seseorang tidak dapat dipikirkan tanpa orang lain. Menurut Aristoteles Manusia adalah zoom politicon

2.      Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif
Kebebasan Negatif disebut juga sebagai ‘kebebasan dari’ (freedom from) kontrol kekuasaan politik, yang juga lahir dari sistem pers libertarian, yaitu kebebasan yang mengutamakan hilangnya kendala eksternal, seperti sensor, surat izin, dan pemberedelan.
Kebebasan Positif disebut juga ‘kebebasan untuk’ (freedom for) mencapai tujuan tertentu terutama kesejahteraan rakyat yang berkembang dari konsep kebebasan yang memiliki tanggungjawab sosial (social responsibility) 

3.      Kebebasan dan tanggung jawab pers
Kebebasan dan tanggungjawab pers sebagai pencerminan hubungan pers dengan pemerintah dan masyarakat senantiasa diatur melalui peraturan atau undang-undang yang tercakupdalam politik komunikasi (kebijakan komunikasi) sebagai salah satu bagian dalam kajian politik.
Dari peraturan atau undang-undang  mengenai pers itulah kemudian dapat dipahami secara normatif hubungan antara pers dengan pemerintah dan masyarakat yang dapat disebut sebagai suatu sistem pers suatu negara. Hal itu berkaitan dengan bentuk kebebasan pers, sebagai bagian dari kebebasan menyatakan pendapat atau kebebasan informasi.
Ada empat macam teori pokok tentang pers : (1) Teori pers otoritarian (Plato-Machieveli) ; (2) Teori Pers Libertarian (Milton, Locke, Mill dan Zaman Terang) ; (3) Teori Pers dan Tanggungjawab sosial (revolusi komunikasi) dan (4) Teori Pers Komunis-Soviet (Marx, Stalin, dan Lenin dan kediktatoran partai komunis uni soviet)
Selain 4 teori di atas ada juga teori pers yang dikenalkan oleh McQuil yaitu teori media pembangunan dan Teori Media Demokratik Partisipan dan Anwar Arifin mengenalkan Teori pers pancasila yang dilatarbelakngi ideologi pancasila yang berkembang di Indonesia.
Dalam sejarah pers dikenal juga model hubungan antara pers dan pemerintah yang dikenal dengan pers pemerintah. 

B.     TUJUH FILSAFAT DAN TEORI KEBEBASAN PERS
Ada tujuh teori pers yang ditulis oleh Siebert, Peterson, dan Schram yang akan dijelaskan sebagai berikut : 

1.      Filsafat dan Teori Pers Otoritarian
Filsafat politik otoritarian dibangun dari asumsi dasar bahwa manusia  padumumnya tidak mampu menemukan kebenaran, kecuali jika dibimbing oleh raja atau kaum bangsawan. Raja bangsawan dianggap memiliki banyak kelebihan dibanding rakyat jelata dan semua kuasa rakyat (jelata) di tangan mereka termasuk klaim kebenaran. Maka disebut juga dengan negara kekuasaan. 
Filsafat otoritarian dan sistem politik otoritarian melahirkan teori pers yang tidak jauh dari sistem negara tersebut. Pers otoritarian diletakkan sebagai pelayan negara dan harus tunduk pada kebijakan negara serta bertanggungjawab padanya.
Ada 5 prinsip dasar dalam teori pers otoritarian, Yakni pers   :
a.       Harus tunduk pada penguasa
b.      Tidak boleh merusak wewenang negara.
c.       Seyogyanya mengindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau dominannya mayoritas.
d.      Perlu ada izin terbit dan penyensoran oleh negara,
e.       Wartawan tidak memiliki kebebasan dalam organisasi persnya.
f.       Bentuk pers ini pada perkembangannya mengalami kemunduran, dan melahirkan berkembangnya gagasan dan ide kebebasan individu dalam bentuk individualisme dan liberalisme.

2.      Filsafat dan Teori Pers Libertarian
Asumsi dasar teori ini adalah bahwa manusia adalah makhluk yang berakal dan dengan kekuatan akalnya ia mampu menemukan kebenaran. Manusia pada hakikatnya dilahirkan sama (egaliter) dan tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya (raja dan rakyat). Tidak ada keistimewaan raja dibanding rakyat jelata dalam kekuasaan. Sebaliknya kekuasan berada di tangan rakyat,  dengan prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Syarat berkuasa harus mendapat dukungan rakyat, cirinya harus poluler (dikenal luas) atau populis (merakyat).
Dari sini lahirlah paham Liberal yang menyatakan bahwa manusia pada intinya bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Ini mendorong lahirnya sistem kapiltalisme dalam ekonomi dan demokrasi dalam politik. Demokrasi dikembangkan untuk melindungi kepentingan kaum kapitalis dan sekaligus kepentingan individu. Dan negara berfungsi sebagai NACTHWACHRSTAAT atau NEGARA JAGA MALAM, menjaga kepentingan individu dan kaum kapitalis.
Individualisme dan liberalisme melahirkan sistem politik liberal atau sistem politik demokrasi yang pada akhirnya juga melahirkan pers yang liberal atau libertarian. Pers dipandang sebagai mitra dalam mencari kebenaran,  sehingga pers bukan alat penguasa namun sebagai alat individu mengawasi kekuasaan agar kebenaran dapat menampakkan diri. Pers dimiliki oleh swasta, tidak memerlukan izin dan sensor dari negara.
Ada beberapa  prinsip dalam jenis pers ini ;
1.      Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pihak lain.
2.      Penerbitan dan pendistribusian tanpa izin dan terbuka.
3.      Kecaman kepada pemerinta, pejabat atau partai politik tidak dipidanakan.
4.      Tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
5.      Tidak ada pembatasan hukum dalam aktivitas pengumpulan informasi untuk kegiatan publikasi.
6.      Tidak ada pembatasan dalam aktivitas pengumpulan informasi untuk kegiatan publikasi.
7.      Tidak ada pembatasan dalam publikasi dan penyebaran informasi ke semua wilayah
8.      Wartawan mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi dalam organisasi mereka.
Dalam sistem libertarian ini memang masih ada campur negara, namun sebatas sebagai pembuat regulasi, sisanya informasi dikuasai oleh para kapitalis yang memanfaatkan betul sistem ini untuk mengguritakan bisnisnya, termasuk bisnis media. Sistem ini banyak ditentang karena dianggap terlalu bebas dan cenderung mengarah kepada kebebasan negatif.

3.      Filsafat dan Teori Pers Tanggung jawab Sosial
Sistem Pers libertarian mengalami revisi dan pengembangan, dan kecenderungan empiris melahirkan teori pers tanggungjawab sosial yang berasal dari orang amerika yang membentuk komisi kebebasan pers (the comission on freedom of the press) yang diketuai oleh Hutchins (1974).
Teori ini lahir didorong oleh tumbuhnya kesadaran bahwa pasar bebas telah gagal untuk memenuhi janjinya akan kebebasan pers dalm mewujudkan kemaslahatan yang diharapkan masyarakat. Teori ini adalah integrasi antara individualisme dan kolektivisme.  Teori ini menganggap bahwa tanggung jawab sosial pers merupakan benteng terhadap otoritarisme dan sekaligus menjaga demokrasi dari bahaya monopoli media dan infrmasi dari segilintir pemodal besar.
Dalam teori ini sebenanrnya pers tetap memiliki kebebasan, namun kebebasan yang tetap dapat dipertanggungjawabkan. Teori ini mengawinka tiga prinsip yang berbeda ; prinsip kebebasan dan pilihan individu ; prinsip kebebasan media ; dan prinsip kewajiban media terhadap masyarakat.
Pers tanggungjawab sosial disebut juga sebagai bentuk kebebasan untuk kemaslahatan masyarakat, yang dikenal sebagai kebebasan positif.
Ada beberapa 7 prinsip utama teori ini :
a.       Media seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu pada masyarakat.
b.      Menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian,  kebenaran, ketepatan, objektivitas, dan keseimbangan.
c.       Media dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka humuku dan lembaga yang ada.
d.      Media menghindari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan, kejahatan dan ketertiban umum, atau penghinaan terhadap minoritas dan etnik.
e.       Media harus bersifat pluralis, kebhinekaan dan kesempatan semua pihak untuk menngungkapkan sudut pandang dan hak jawab.
f.       Masyarakat dan publik memiliki hak dalam mengharapkan standar prestasi yang tinggi dalam intervensi dapat dibenarkan dalam mengamankan kepentingan umum.
g.      Wartawan dan media profesional bertanggungjawab terhadap masyarakat dan juga kepada pasar.

4.      Filsafat dan Teori Media Demokratik Partisipan
Teori ini menghendaki dikembangkannya media massa dalam skala kecil dan tersebar di sleuruh wilayah dalam suatu negara, agar dapat menjamin keanekaragaman dan kebebasan informasi publik.
Teori ini memusatkan pada kebutuhan, kepentingan dan aspirasi penerima dalam masyarakat. Hal itu berkaitan dengan hak akan informasi, hak untuk menjawab kembali,  hak untuk menggunakan sarana komunikasi untuk berinteraksi dalam kelompok masyarakat berskala kecil dan kelompok kepentingan  subkultur. Teori ini juga menekankan bahwa isi media tidak tunduk pada pengendalian politik dan ekonomi.  Semua lapisan masyarakat punya kesempatan yang sama dalam memanfaatkan media dan hak dilayani media sesuai dengan kebutuhan.
Ada beberapa prinsip utama dalam teori ini :
1.      Semua warga negara mendapatkan hak yang sama untu k pemanfaatan media dan hak untuk dilayani media sesuai dengan kebutuhannya,
2.      Organisasdi dan isi media tidak tunduk pada pengendalian politik yang terpusat atau pengendalian negara.
3.      Media eksis untuk melayani masyarakat dan bukan pada pemilik media.
4.      Kelompok, organisasi dan masyarakat lokal mampu memiliki media sendiri.
5.      Media berskala kecil lebih baik dari pada media berskala besar yang satu arah dan diprofesionalkan.
6.      Komunikasi terlalu penting, sehingga tidak diabaikan oleh para ahli.

5.      Filsafat dan Teori Pers Komunis Soviet.
Teori ini merupakan antithesa dari teori liberal, dengan paradigma utama membebaskan pers dari kontrol, pengendalian dan pemilikan pers  atau media  oleh kapitalis dan borjuis (pemilik modal) yang dianggapnya sebagai pers mata duitan. Media dimiliki oleh partai komunis soviet sebagai satu-satunya partai yang berfungsi sebagai alat bagi rakyat dalam mencapai masyarakat sosialis dan masyarakat komunis. Inilah yang disebut dengan demokrasi rakyat.
Teori ini mengandung konsepsi yang bersumber dari ajaran Marx dan Engel yang didukung oleh Lenin, dimana demokrasi rakyat merupakan bentuk khusus demokrasi yang memenuhi fungsi diktator proletariat. Dengan demikian demokrasi rakyat merupakan negara dalam transisi yang bertugas untuk menjamin perkembangan negara ke arah sosialisme. Prinsipnya adalah bahwa pers dikuasai dan dikendalikan oleh partai komunis dan dalam berbagai level dipadukan dengan instrumen lain dari kehidupan politik.
Ada beberapa prinsip teori pers ini ;
(1) media melayani kepentingan dan berada di di bawah pengendalian kelas pekerja. (2) media tidak dimiliki secara pribadi, (3) media harus melakukan fungsi positif bagi masyarakat dengan; sosialisasi terhadap norma yang diinginkan, pendidikan, informasi, motivasi dan mobilisasi, (4) media tangap terhadap keinginan khalayaknya, (5) media hendaknya mendukung kegiatan progresif di dalam dan luar negeri, (6) media perlu menyediakan pandangan yang purna (complete) dan objektif tentang masyarakat dan dunia, dalam prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme. (7) Wartawan adalah ahli yang bertanggung jawabyang tujuan dan cita-citanya serupa dengan kepentingan terbaik masyarakat.

6.      Filsafat dan Teori Pers Media Pembangunan

Teori ini lahir seiring berkembangnya Kajian tentang pembangunan pada era 1960-an sampai 1970-an. Wilbur Schram melahirkan pula karyanya yang berjudul Mass Media and National Development pada tahun 1964. Penerapan teori media pembangunan itu melahirkan ‘sistem media pembangunan’ terutama ‘sistem pers pembangunan’  pada sejumlah negara yang sedang berkembang.

Teori ini bertolak dari filsafat politik yang dikenal juga dengan istilah “pembangunanisme” yang bercirikan :
1.      Memberikan pembenaran bagi negara melakukan intervensi dalam berbagai bidang, termasuk pers/media massa.
2.      Prioritas pembangunan ekonomi untuk menghilangkan kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan dalam rangka pembangunan bangsa.
3.      Media massa diposisikan sebagai sebagai objek pembanguna, terutama dalam membangun infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia.
Secara umum teori media pembangunan menekankan pada beberapa hal :
a.       Media massa menerima dan melaksanakan tugas pembangunan, sehingga kebebasan media hendaknya dibatasi sesuai dengan prioritas ekonomi dan kebutuhan pembangunan. Dimana untuk kepentingan pembangunan pers wajib diatur oleh pemerintah. (McQuil, 1996:118-121)
b.      Di Negara berkembang yang secara umum sedang tumbuh, dianggap perlu membatasi teori yang tidak sesuai dengan konteks budaya, ekonomi, sosial dan politiknya. Karena masih terbatasnya SDM serta SDA yang dikelola. Agar terbangunnya jati diri dan ketahanan nasional dalam pergaulan internasional.
c.       Media harus turut aktif  dalam semua bidang pembangunan dan menerima campur tangan pemerintah dalam segala hal , termasuk perkembangan media itu sendiri yang juga sedang tumbuh berkembang.
Media memang boleh dimiliki oleh swasta namun memiliki kebebasan yang terbatas sesuai dengan program-program pembangunan pemerintah. Keniscayaan terbangunnya hubungan harmonis antara media, masyarakat dan pemerintah menjadi titik tekan dalam teori ini guna mensukseskan pembangunan.
Prinsip utama teori ini adalah :
1.      Media hendaknya melaksanakan tugas pembangunan positif sejalan dengan kebijakan pemerintah.
2.      Kebebasan media disesuaikan dengan agenda ekonomi dan kebutuhan pembangunan masyarakat.
3.      Media memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
4.      Media memfokuskan berita dan informasinya pada negara berkembang lainnya yang kaitan secara geografis, kebudayaan dan politik.
5.      Negara memiliki hak terhadap media dalam bentuk campur tangan, membatasi pengoperasian media, penyensoran, subsidi, dan pengendalian langsung pada media.
6.      Wartawan dan karyawan media memiliki tanggungjawab serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan informasi dan penyebarluasannya.
Teori media massa pembangunan dapat digolongkan ke dalam kebebasan positif , yaitu kebebasan untuk pembangunan ekonomi demi kesejahteraan rakyat dan kebebasan untuk pembangunan bangsa

7.      Filsafat dan Teori Pers Pancasila
Teori ini dikembangkan oleh Anwar Arifin yang berbasis pada filsafat politik dan ideologi pancasila sebagai kelanjutan dari keputusan Dewan Pers yang merumuskan secara singkat tentang definisi dan hakikat pers pancasila bagi Indonesia.            
Hakikatnya pers pancasila ini dalam banyak aspek memiliki kemiripan seperti teori pers tanggungjawab sosial yang bersumber dari filsafat liberal dan berkembang di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Namun lebih menyesuaikan dengan jatidiri bangsa indonesia yang bersumber pada filsafat politik dan ideologi pancasila.
Intinya Teori ini lahir dari ideologi Pancasila yang telah mafhum dipahami bahwa asumsi dasarnya adalah bahwa manusia adalah Makhluk Tuhan yang Maha Esa dan dilahirkan dalam keadaan yang sama (egalitarian), memiliki akal pikiran untuk mencari dan menemukan kebenaran.  Walaupun keterbatasan akal pikiran manusia tersebut menuntut adanya wahyu sebagai pembimbing menuju kebenaran itu sendiri. Kehidupan berpusat pada kepada Tuhan yang Maha Esa (theocentrism) bukan anthropocentrism atau berpusat pada manusia.
Dalam Ideologi Pancasila, sistem dan komunikasi politik dibangun secara demokratis dengan memadukan kolektivisme sebagai ciri budaya bangsa Indonesia dengan individualisme sebagai ciri liberalisme. Dalam konsep ini manusia dipahami sebagai makhluk Monodualis, yakni sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial.
Singkatnya Pers Pancasila adalah pers pembangunan. Pers yang berorientasi, bersikap, dan bertingkah laku berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Teori ini berprinsip pada sistem tanggungjawab sosial pers pancasila yang bebas dan bertanggungjawab, adanya kode etik jurnalistik dan dewan pers.
Secara Historis pers pancasila merupakan jalan tengah menghadapi pertentangan ideologi pers di Indonesia sejak kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1980-an.
Secara filosofis negara Indonesia diarahkan menjadi negara kesejahteraan (wefvaarstaat), bukan negara jaga malam (nachtwachrstaat) seperti di negara liberal atau negara kekuasaan (matchsstaat) seperti di negara komunis. Teori pers dirumuskan bahwa pers tidak jauh dari rakyat juga tidak jauh dari penguasa. Kebebasan dan tanggungjawab pers ditempatkan secara seimbang. Pers juga boleh dimiliki oleh swasta dengan beberapa persyaratan yang menjadi simbol kebebasan dan tanggungjawab, seperti sifat-sifat idiil, boleh kritik dan kontrol, namun penerbitan pers melalui SIUPP.
Singkatnya Pers Pancasila adalah sinergi antara beberapa teori pers yang sudah ada, baik libertarian, komunis atau teori pers tanggungjawab sosial.  Untuk memahami lebih jauh tentang pers pancasila, berikut prinsip-prinsip utama dalam teori pers ini :
1.      Pers memiliki kedudukan sebagai alat perjuangan  yang mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa.
2.      Pers memiliki kebebasan dan sekaligus tangungjawab
3.      Pers dapat diterbitkan oleh pemerintah, maupun organisasi sosial, organisasi politik dan swasta (pengusaha)
4.      Pers dapat menerima pengawasan, pembinaan, dan bantuan dari pemerintah.
5.      Pers melakukan interaksi positif dengan pemerintahdan masyarakat, dan menciptakan hubungan yang bersifat mitra.
6.      Pers mengakui pentingnya ketakwaan kepada Tuhan YME, sebagai sumber kekuatan moral dan etik.
7.      Pers memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial.
Selain itu teori pers Pancasila juga mengawinkan beberapa prinsip yang bertentangan : (1) kebebasan dan tanggungjawab, (2) tanggungjawab sosial dan tanggungjawab kepada Tuhan, (3) kemitraan dan interaksi positif  pers dan (4) kebersamaan dan kesetiakawanan profesi, serta (6) komersialisme dan idialisme.


C.    KOMUNIKASI  POLITIK DAN GLOBALISASI

Revolusi pertanian yang dilanjutkan dengan Revolusi Industri serta lahirnya Revolusi Informasi berdampak munculnya globalisasi, dimana dunia seperti Global Village. Masyarakat yang berjarak secara geografis dengan berkembangnya tekhnologi informasi dan komunikasi menjadi sangat dekat dan menimbulkan ledakan informasi dalam masyarakat.
Revolusi informasi juga berdampak pada proses komunikasi politik, terutama dengan komunikasi internasional sebagai salah satu dimensi penting dalam komunikasi politik.

1.      Globalisasi dan Dominasi Negara Maju
Ada tiga hal penting yang mendukung arus komunikasi dan informasi di era globalisasi :
a.       Paradigma freedom of information atau kebebasan
b.      Kemajuan ilmu dan tekhnologi (khususny tekhnologi informasi)
c.       Kemajuan dalam bidang Ekonomi dan Industri
Adanya sejumlah negara, khususnya di Utara yang lebih dahulu menguasai tekhnologi di banding negara-negara di bagian Selatan.  Kemajuan ini menimbulkan implikasi bahwa negara-negara di bagian tersebut mendominasi negara –negara di Selatan yang memang sedang berkembang.
Istilahnya  Negara tersebut berhasil mendominasi perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasim sehingga berarti menguasai isu-isu internasional yang dapat menjadi bahan untuk menguasai politik, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena arus informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang.
Arus informasi tersebut tergambar dari begitu banyaknya berita-berita yang diakses yang sesungguhnya belum tentu relevan dengan kebutuhan masyarakat di negara tertentu. Namun banjirnya informasi melalui media cetak, apalagi media elektronik membuat negara-negara berkembang tanpa daya menjadi konsumen atas perkembangan informasi di negara-negara maju tersebut.
Globalisasi yang telah melahirkan ketimpangan arus informasi itu pada akhirnya bermuara pada terbentuknya, citra dan opini publik internasional yang timpang pula. Siapa menguasai informasi dia menguasai Dunia. Itulah yang terjadi. Ditambah lagi dengan perkembangan internet yang makin membuat informasi dari berbagai belahan dunia dapat diakses.
Hal tersebut juga didukung oleh Universal Declaration of Human Right yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1948, yang isinya mengenai kesepakatan internasional tentang adanya kebebasan informasi yang perlu dijamin serta kebebasan bersuara an terciptanya arus informasi yang bebas.
Deklarasi tersebut secara subjektif  bagus sebagai sebuah usaha membangun egalitarian di antara negara-negara maju dan berkembang, namun pada prakteknya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di suatu negara berpengaruh terhadap adanya dominasi negara maju terhadap penyebaran informasi di negara berkembang. Sehingga opini negara maju lebih berpengaruh ketimbang isu-isu yang ada di negara-negara berkembang. Kita menyebutnya sebagai imperialisme dan kolonialisme gaya baru.

2.      Kebebasan dan penataan Informasi Internasional

Kebebasan arus informasi tersebut lambat laun mendapatkan perhatian PBB, usaha melakukan revisi terhadap deklarasi PBB tentang hal tersebut terus disuarakan oleh organisasi dunia tersebut, terutama UNESCO sebagai organisasi yang mengurusi bidang kebudayaan, pedidikan dan ilmu pengetahuan. 

Harapan lahirnya tatanan informasi yang adil dan berimbang, yang dikenal dengan Tatanan Baru Informasi Internasional  (New Internasional Information Order) sejalan dengan Tatanan Baru Ekonomi Internasional.  Namun Negara maju seperti Amerika dan Jepan yang telah ‘menikmati’ kebebasan tersebut berpendapat bahwa hal tersebut hanyalah bagian dari evaluasi memperbaiki hubungan komunikasi negara maju dan berkembang, bukan sebuah hal yang ekstrim mesti dilakukan perubahan mendasar.

Upaya menata kembali penyebaran arus informasi terus dilakukan walaupun globalisasi yang menjadi dasarnya tak dapat dibendung, minimal usaha tersebut membuka ruang diskusi akan pentingnya negara-negara maju memperhatikan arus informasi yang layak atau tepat untuk negara-negara maju yang sedang berkembang secara politik, ekonomi dengan tetap mempertahankan budaya dan jatidirinya sebagai bangsa.

Lahirnya Deklarasi San Joze pada tahun 1976 tentang kebijakan komunikasi terus mendorong usaha-usaha sejenis yang dimotori oleh UNESCO, demi tercapainya kebijakan komunikasi yang relevan dengan kenyataan nasional sebuah negara dan kebebasan informasi yang tetap menghormati hak azasi manusia.

Pertentangan akan usaha-usaha ini pun menimbulkan perbedaan tajam dalam menyikapi kebebasan informasi dengan kebebasan berpendapat, ancaman munculnya pengaturan yang ketat dan sensor dari pemerintah menjadi isu tersendiri yang muncul seiring usaha penataan ini dilakukan. Terutama di negara-negara besar seperti Amerika dan Jepang yang memiliki motif ekonomi di balik bebasnya arus informasi.

3.      Kebebasan Informasi dan Kepentingan Nasional
Perkembangan Politik dunia yang melahirkan negara-negara nonblok yang salah satunya didukung oleh Indonesia sebagai bagian dari negara yang sedang berkembang juga ikut berpartisipasi dalam penataan informasi internasional. Beberapa kali konferensi yang diadakan negara-negara tersebut melahirkan Kominok atau Konferensi Menteri-menteri Negara-Negara Non Blok.
Salah satu hasil Kominok di Jakarta melahirkan Himbauan Jakarta yang menghasilkan hal berikut :
1.      Meningkatkan peran serta dalam upaya internasional mengurangi polarisasi yang tajam demi tercapainya perdamaian yang adil dan abadi.
2.      Terjalinnya kerjasama internasional di bidang komunikasi yang berimbang dan bermartabat.
3.      Meningkatkan kepercayaan diri negara-negara nonblok dalam penyebaran informasi di dunia internasional dengan bekerjasama membangun kantor-kantor berita perwakilan antar negara.
4.      Menjauhkan pemberitaan yang tedensius dan merugkan perkembangan internal dan eksternal negara-negara nonblok.
5.      Media massa perlu memberikan respon positif terhadap peluang-peluang yang ada demi tercapainya hubungan internasional dan terbukanya cakrawala baru kemajuan di negara-negara berkembang.
6.      Memperkuat kerjasama dengan PBB dan badan-badan khusus di bidang informasi dan komunikasi sebagai saranan kemajuan universal negara-negara nonblok.
Indonesia sendiri sebagai sebuah bangsa dan bagian dari anggota dunia internasional juga perlu melakukan langkah-langkah positif seiring perkembangan menata kembali informasi internasional.
Amerika yang berada pada posisi negara maju tentulah mempertahankan liberalismenya yang telah memberikan keuntungan secara politik dan ekonomi kepada kemajuan negaranya.
Nah indonesia juga mesti objektif memanfaatkan peluang kebebasan informasi tersebut bagi perkembangan pembangunan domestik sambil tetap mempertahankan usaha mendapatkan keseimbangan informasi dari perbedaan yang tajam antara kepentingan negara maju dalam bidang ploitik dan ekonomi dengan usaha mempertahankan jatidiri dan kepentingan nasional dalam negeri.  


SUMBER : Ringkasan BAB II 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami Apresiasi Setiap Pembaca dan Pengutip mencantumkan Blog kami jika melakukan pengutipan semua atau sebagian isi yang ada dalam BLOG ini,