A.
Paradigma Komunikasi Politik
Paradigma adalah sudut pandang terhadap sesuatu, dalam
ilmu komunikasi paradigma ilmunya berkembang sangat pesat. Selain komunikasi
sebagai ilmu sosial yang terus berkembang, paradigma yang mempengaruhinya ikut
berkembang secara revolusioner.
Paradigma lama dan baru saling mempengaruhi membentuk
ilmu komunikasi semakin dalam dan luas. Perkembangan paradigma komunikasi
tersebut secara tidak langsung berpengaruh juga pada perkembangan sudut pandang
pada komunikasi politik, sebagai bagian dari ilmu komunikasi yang terus
berkembang.
Ada 4 paradigma yang dikenal mempengaruhi tumbuh kembang
ilmu komunikasi termasuk di dalamnya komunikasi politik.
1.
Paradigma Mekanistis
Paradigma ini menjelaskan bahwa Komunikasi sebagai suatu
proses, dipahami sebagai suatu proses dipahami sebagai suatu mekanisme yang
berjalan dari...., ke...., melintasi ruang dan waktu dari satu titik ke titik
lainnya. Komponen-komponen dalam model mekanistis sangat jelas, yaitu
sumber/penerima, saluran, pesan/umpan balik, dan efek. Sesuai dengan doktrin
mekanisme (idealisme mekanistis), yang berdasarkan cara berpikir sebab-akibat,
titik berat kajiannya adalah pada efek.
Dalam komunikasi politik (KP) Dan Nimmo menjabarkan
formula Lasswel, bahwa dalam KP terdapat unsur-unsur yang dapat dikenal, yaitu
komunikator politik, pesan politik, media politik, khalayak politik, dan efek
politik.
Efek Politik telah menjadi pusat kajian politik dalam
paradigma mekanistis study tentang efek semakin berkembang sejalan dengan
kekhawatiran banyak orang akibat atau dampak media massa (termasuk globalisasi
informasi) terutama media elektronik (ingat misalnya gagasan McLuhan tentang
Desa Jagat dan Novel Barve New World 1984).
Doktrin mekanisme juga mengajarkan bahwa selain efek itu
bisa diramalkan, juga bisa diciptakan (direkayasa), dengan menghilangkan
kendala atau rintangan yang mungkin terjadi melalui suatu perencanaan pada
awal.
Walaupun paradigma ini mulai memudar seiring dengan
perkembangan zaman, namun dalam komunikasi politik dan studi mengenai pendapat umum, propaganda,
perang urat saraf, kampanye, pengaruh media massa pada terhadap sosialisasi
politik dan peranan komunikasi terhadap pasrtisipasi politik, masih sangat
dominan.
2.
Paradigma Psikologis
Paradigma Psikologis ini menjelaskan bahwa komunikasi dikonseptualisasikan sebagai penerimaan dan pengolahan
informasi pada diri individu. Perspektif yang dipengaruhi secara sporadis oleh
psikologi itu adalah mengadaptasikan konsep S – R dalam komunikasi. Sehingga eksistensi empiriknya (fokusnya)
tidak terletak dalam saluran sebagaimana paradigma mekanisits melainkan fokus
pada diri individu.
Filter konseptualisasi itu dapat digambarkan sebagai
sikap, keyakinan, motif, tanggapan dan persepsi yang dapat menjadi perangkap
atau penyerap dari semua rangsangan yang menyentuh individu. Dengan demikian komunikasi dalam model
psikologi merupakan masukan dan luaran stimuli yang dikembangkan dan diseleksi
dari stimuli yang terdapat di dalam lingkungan informasi.Karena itu situasi
komunikasi ditandai oleh medan stimuli yang terstruktur dan derajat kesengajaan
di pihak komunikasi.
Unsur komunikasi dalam paradigma ini bukan lagi komponen-komponen yang dikemukakan Lasswell melainkan stimulus dan respon dengan fokus kajian pada individu.
Dalam batas tertetntu orientasi para penerima dari model
ini merupakan reaksi atas model mekanisits.
Dengan fokus pada individu paradigma psikologi telah memberikan
penekanan pada komunikasi intrapersona dibanding perspektif lainnya.
3.
Paradigma Interaksional
Paradigma yang ketiga ini merupakan raksi terhadap kedua model
terdahulu. Dalam perspektif ini menurut Fisher, komunikasi dikonseptualisasi sebagai interaksi manusiawi pada
masing-masing individu. Karakteristik utama dari perspektif ini adalah
penonjolan nilai individu di atas yang lainnya.. Karena manusia dalam dirinya
memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan serta masyarkat dan buah
pikiran. Paradigma Interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan
sebagai komunikasi dialogis atau atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog.
Ini adalah reaksi humanitas terhadap mekanisitis yang monolog. Unsur
fundamental dalam dalog adalah melihat yang lain atau memandang pihak yang lain
sehingga proses dasar dalam dialog adalah konsep pengambilan peran. Hal ini
memungkinkan individu menemukan dna mengembangkan diri melalui interkasi sosial
karena di dalamnya terkandung ikatan empatis, identifikasi diri dan saling
pengertian.
Komponen komunikasi dalam model ini sangat berlainan dari
model terdahulu yaitu peran, orientasi, kesearahan, konsep kultural dan
adaptasi. Sehingga kosep yang dikemukakan Lasswell menjadi tidak penting karena
titik berat kajian perspektif ini adalalah tindakan sosial atau tindakan
bersama. Dalam komunikasi dialogis, konsep kultural menempati posisi penting.
Dengan demikian komunikasi tidaklah bebas nilai, sehingga dengan paradigma ini
kita dapat membicarakan komunikasi politik yang khas Indonesia yakni musyawarah
dan mufakat. Dengan demikian, Konteks kultural dan sistem sosial yang menjadi
kerangka medan komunikasi telah membawa komunikasi dan komunikasi politik
keluar dari “tempurung mekanistis” yang klasik itu.
4.
Paradigma Pragmatis
Paradigma ini memusatkan perhatian pada pragma dan tindakan. Jika
dalam model interaksional, tindakan yang diamati adalah tindakan sosial dalam
konteks kultural, maka dalam model ini tindakan yang diamati adalah tindakan atau
perilaku yang berurutan dalam konteks waktu sebuah sistem sosial. Tindakan tersebut dapat berupa tindakan, ucapan
dan perilaku.
Dalam paradigma psikologi, orientasi pada penerima sebagai
hasil pengolahan informai secara internal dalam diri individu, maka dalam
perspektif ini orientasinya pada perilaku komunikator dalam sebuah sistem sosial. Perilaku dan tindak bukan merupakan hasil
atau efek dari proses komunikasi, melainkan tindak dan perilaku itu
sendiri sama dengan komunikasi.
Dengan demikian komponen pokok dalam perspektif ini
adalah pola interaksi, fase, siklus, sistem, struktur dan fungsi. Paradigma ini tidak lagi berbicara
tentang komponen komunikasi menurut Lasswell, melainkan ucapan-ucapan yang
terpola dan pola tindakan atau pola perilaku dalam waktu tertentu.
B.
Teori dan Model Dasar Komunikasi Politik
Ada beberapa teori media komunikasi politik
yang perlu dikenal yaitu; 1) teori Media Kritis, 2) Teori Permainan dan Teori
Parasosial, 3) Teori Guna dan Kepuasandan 4) Teori Lingkar Kebisuan.
Pemaparan teori Guna dan Kepuasan
dikemukakan juga 3 teori tentang pertemuan khalayak dengan media massa yaitu;
1) teori perbedaan individu, 2) teori kategori sosial dan 3) teori hubungan
sosial. Sedangkan teori agenda setting dan framing diuraikan dalam paparan
tentang teori lingkar kebisuan.
1.
Teori Jarum Hipodermik
Paradigma mekanistik menghasilkan dua asumsi dasar.
Pertama; penerima atau khalayak pasif atau tidak
berdaya ketika menerima pesan dari komunikator. Artinya komunikator dengan
mudah mempengaruhi komunikan atau khalayak.
Kedua; media massa sangat perkasa bahkan
kekuatannya mendekati gaib. Artinya bahwa setiap pesan yang disalurkan oleh
media massa dengan mudah mempengaruhi khalayak. Bahkan McLuhan (1964)
menyebutkan bahwa media massa itu sendiri adalah pesan. Konsep khalayak pasif
dan asumsi media sangat perkasa ini melahirkan teori-teori dasar dengan nama
yang berbeda seperti; hypodermic needle
theory (teori jarum hipodermik) dan the
bullet tehory of communication.
Wilbur Schramm, adalah ahli yang produktif mengembangkan teori ini
dalam perkembangan ilmu komunikasi. Dalam kerangka teori dasar tersebut Schramm
memperkenal konsep komunikasi pembangunan.dan Rogers and Schoemaker
mengembangkan komunikasi pembaruan.
Berdasarkan teori tersebut, komunikator
politik selalu memandang bahwa pesan politik apapun yang disampaikan kepada
khalayak, apalagi kalau melalui media massa pasti menimbulkan efek yang positif
berupa cara yang baik, penerimaan atau dukungan.
Namun asumsi tersebut tidak benar
seluruhnya karena sangat tergantung pada
situasi dan kondisi khalayak, di samping daya tarik, isi dan kredibilitas
komunikator. Di negara-negara demokrasi, teori jarum suntik dan teori peluru
ini dibangkitkan dan berkembang melalui teori agenda setting. Model ini dimulai dengan asumsi bahwa media
menyaring berita, artikel dan tulisan yang disarikan dan memusatkan perhatian
pada efek afektif dan behavioral, sedangkan teori jarum suntik dan teori peluru memusatkan perhatian pada
aspek kognitif khalayak. Teori Agenda Setting diperkenalkan oleh Maxwel E. M.
Comb dan Donald S. Shaw.
Teori hipodermi, teori peluru dan teori sabuk transmisi selanjutnya digambarkan dalam
bentuk model-model linear.
2.
Teori Khalayak Kepala
Batu
Gugurnya teori khalayak pasif dan asumsi
media perkasa, munculah asumsi bahwa khalayak aktif dan sangat berdaya dalam
setiap proses komunikasi politik. Bahkan khalayak memiliki daya tangkap dan daya
serap terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya. Dalam hal ini
para pakar Ilmu Komunikasi kemudian mengakui, termasuk Wilbrur Schramm
dan Roberts yang mengoreksi teori mereka dan menerima ada teori baru yakni teori khalayak kepala baru. (the obstinate audience theory).
Teori khalayak kepala batu dikembangkan
oleh Raymond Bauer, bahkan sudah diperkenalkan oleh I. A. Richards tahun 1936.
Robert Bauer mengkritik potret bahwa khalayak sebagai robot yang pasif. Teori
khalayak kepala batu menggeser fokus penelitian dari komunikator kepada
komunikan atau khalayak. Mereka mengkaji faktor-faktor yang membuat individu
itu mau menerima pesan komunikasi. Maka lahirlah salah satu teori yaitu teori
guna dan kepuasan, yang dikembangkan oleh Elihu Katz, Jat C. Blumer dan Michael
Gurevitch (1974). Teori khalayak kepala
batu dan teori
guna dan kepuasan dimasukan ke dalam kelompok teori dari perspektif atau
paradigma psikologis dari komunikasi politik.
3.
Teori Empati dan Teori
Hemofili
Persuasif yang positif berkaitan dengan
teori empati dan teori homofili. Teori empati dikembangkan tidak hanya oleh
pakar ilmu komunikasi melainkan juga pakar psikologi seperti Berlo dan Daniel
Larner. Sedangkan teori homofili
dikembangkan oleh Everet M. Roger dan F. Schoemaker. Secara sederhana, empati
dikatakan sebgai kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang
lain. Disinilah David K. Berlo memperkenalkan influence theory. Selanjutnya Daniel Larner melihat empati sebagai
kemampuan melihat diri sendiri dalam situasi dan kondisi orang lain. Sementara homofili
dapat digambarkan sebagai suasana dan kondisi kepribadian dan kodisi fisik dua orang yang berinteraksi karena memiliki kesamaan usia, bahasa,
pengetahuan, kepentingan, organisasi, partai, agama, suku bangsa dan pakaian. Dalam komunikasi politik homofili
dengan mudah dlihat pada para politikus dan kader politik di Indonesia yaitu
memiliki kostum yang seragam.
Selanjutnya empati dan homofili dalam
komunikasi politik diaplikasikan dalam bentuk ideologi politik yang sama,
doktrin politik dan simbol politik yang sama. Teori-teori tersebut oleh para
pakar digambarkan juga dalam bentuk model yaitu model pertukaran sosial, model
peranan dan model interaktif. Model-model tersebut berbeda dengan model-model
lonear yang dikembangkan dari kelompok partisipatif yang akan menjadi perhatian
dalam komunikasi politik yang demokratis.
4.
Teori Informasi dan
Nonverbal
Para pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teori informasi yang
banyak digunakan dalam kegiatan komunikasi politik. Teori informasi (dan teori
sistem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan menjelaskan paradigma pragmatis yang intinya sama
yaitu bertindak adalah berkomunikasi. Artinya semua tindakan politik dapat
dipandang sebagai komuniksi politik yang bersifat non verbal. Informasi
memiliki beberapa pengertian;
Pertama; informasi dipahami sama dengan pesan, sebagaimana yang
dianut dalam proses komunikasi mekanistis.
Kedua; informasi adalah data yang sudah diolah
sebagaimana yang dipahami dalam sistem informasi manajemen.
Ketiga; informasi adalah segala sesuatu yang
mempunyai ketidakpastian atau mempunyai sejumlah kemungkinan alternatif, sebagaimana yang dianut dalam teori informasi
yang sedang dibahas ini.
Menurut Fisher, teori informasi diartikan sebagai pengelompokan
peristiwa-peristiwa dengan fungsi dan tujuan untuk menghilangkan ketidapastian.
Sehingga dapat dikatakan bahwa informasi politik dalam teori informasi pada hakekatnya
adalah komunikasi politik yang bersifat nonverbal. Dengan demikian menurut
teori informasi tidak ada satu pun tindakan politik para politisi atau kader
partai yang bukan komunikasi politik, tetapi dapat dipandang sebagai komunikasi
politik nonverbal. Aplikasi teori informasi
dalam komunikasi politik dalam beberapa bentuk, seperti;
1). Memasang bendera umbul-umbul, spanduk dan memperdengarkan
musik karena akan ada upacara partai politik
2). Memakai pakaian seragam karena akan ada pertetmuan partai
3). Mempromosikan anggota partai yang memiliki
prestasi.
Akhirnya tindakan politik dan perilaku
politik tidak saja dianalisa sebagai komunikasi politik, tetapi juga lahir sebagai bidang studi dalam ilmu politik yang
dikenal dengan nama Perilaku Politik.
C.
Teori Media Komunikasi Politik
1.
Teori Media Kritis
Dalam komunikasi politik berkembang juga teori media kritis yang tidak termasuk dalam
paradigma yang disampaikan di atas atau biasa disebut teori komunikasi kritis,
yang berkembang di Eropa khususnya Jerman. Teori Media Kritis menurut Hollander
(1981), adalah merupakan teori media yang menempatkan konteks kemasyarakatan
sebagai titik tolak dalam mempelajari media massa. Dalam koteks ini dapat
diketahui bahwa eksistensi media massa dalam berfungsi, banyak dipengaruhi oleh
politik, ekonomi, kebudayaan dan sejarah. Berangkat dari aspek kemasyarakatan,
pendukung teori media kritis seperti Ardorno dan Horkheimer (Arifin 1997:52),
memandang bahwa media massa sebagai produsen utama dari kebudayaan massa. Media
massa berusaha agar bukan lagi individu yang menentukan apa saja yang termasuk dalam
kehidupan untuk dikonsumsi. Ini kemudian berkembang menjadi pandangan bahwa media
massa merupakan industri kebudayaan yang dilahirkan dalam budaya industri.
Berhubungan dengan hal di atas, Macuse
menggunakan istilah masyarakat satu
dimensi untuk menunjukkan bahwa masyarakat
yang lahir dari dukungan budaya
industri. Aliran Frankfurt memberikan penekanan kepada masalah media sebagai
suatu mekanisme ampuh yang memiliki kemampuan dalam mengarahkan perubahan. Para
ahli teori kritis dan penganut Aliran Frankfurt dapat disebut melakukan upaya
yang mengkombinasikan pandangan serba media dan pandangan serba masyarakat, karena pandangan mereka
mengenai kekuasaan media tidak terlepas dari pengaruh masyarakat sehingga tataran
yang berlaku tidak perlu diubah.
Teori media kritis bertolak belakang dengan
teori media massa lainnya seperti; teori perseptual dan teori fungsional yang justru kedua teori itu memberikan tekanan kepada akibat apa
yang dilakukan oleh media massa terhadap orang. Namun teori fungsional kemudian mengalami sedikit pergeseran
yaitu memusatkan kajian kepada pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak
dari media massa danmengapa hal itu dapat diperoleh.
2.
Teori Permainan dan
Teori Parasosial
Komunikasi Politik mengenal juga Teori
Permainan karena politik dari perspektif publik disebutnya permainan. Teori
permainan yang dikembangkan oleh William Stephensen yang menjelaskan bahwa
mengikuti pesan melalui media hanyalah demi kesenangan. Teori kesenangan yang
diturunkan dari gagasan kesenangan berkomunikasi, kegembiraan yang diperoleh
orang, dari berbicara dengan tidak mengharapkan sesuatu, hiburan menonton televisi adalah tanpa tujuan atau kepuasan
dalam nonton film. Sebaliknya teori informasi
menurut Stephensen, tidak lain dari derita berkomunikasi, misalnya
berkomunikasi agar lebih berpengetahuan
dan berpendidikan untuk memecahkan masalah.
Teori Permaianan sangat erat dengan
komunikasi politik, karena Menurut Stephensen, bahwa politik itu tidak lain
dari permainan. Permainan membangun citra dan menggairahkan pikiran yang bukan
saja dapat menyenangkan tetapi dapat membuat kejutan. Menurut Edelmann,
sebagian besar dari komunikasi politik adalah estetika terutama komunikasi
politik massa. Para pakar kemudian menggambarkan teori parasosial dengan pandangan bahwa media massa berfungsi
dalam memenuhi kebutuhan manusia akan interaksi sosial. Hubungan komunikasi
politik dengan khalayak politik hanya dapat terjadi jika media massa memberikan peluang bagi hubungan parasosial.
3.
Teori Guna dan Kepuasan
Salah satu teori yang dapat dimasukan ke
dalam kelompk teori khalayak kepala batu
adalah teori guna dan kepuasan. Teori ini menjelaskan bahwa semua orang yang
menanggapi pesan melalui media massa menunjuk
kepada kegunaan dan kebutuhan tertentu yang dipenuhi oleh media massa seperti
informasi, hiburan dan pendidikan. Dalam hal ini media memiliki kegunaan dan memenuhi kepuasan khalayak.
Teori ini menjelaskan bahwa media massa berfungsi untuk memenuhi kepentingan
hiburan, hubungan personal dan identitas pribadi.
Teori ini dikembangkan oleh Elihu Katz, Jay C. Blumer dan
Michael Guveritch. Model ini dibangun dengan asumsi dasar bahwa manusia adalah
mahkluk yang sangat rasional dan sangat aktif, dinamis dan selektif terhadap
semua pengaruh dari luar dirinya. Reaksi yang diberikan khalayak terhadap
terpaan media didasarkan pada reaksi terhadap kegunaan dan kepuasan individu.
Dengan teeori ini kajian komunikasi bergeser dari komunikator kepada khalyak
yang dikenal dengan istilah khalayak aktif. Berdasarkan hal tersebut, De Fleur
dan Ball-Rokeach (1975), menyatakan bahwa pertemuan khalayak dengan media massa dapat didasarkan
kepada tiga kerangka teori;
a.
Teori Perbedaan Individu ;
b.
Teori Kategori Sosial
c.
Teori Hubugan Sosial
4.
Teori Lingkar Kebisuan
Salah satu teori yang berkaitan dengan
opini publik adalah teori lingkar kebisuan yang diperkenalkan dan dikembangkan
oleh Elizabeth Noelle-Neuwmann (1873)
dari Jerman. Teori ini menjelaskan bahwa lingkar kebisuan dapat
merupakan mayoritas khalayak yang membisu atau berdiam meskipun setuju dan
memberi dukungan terhadap suatu kebijakan publik. Namun bisa dikalahkan oleh
minoritas yang anti kebijakan tersebut karena sering ditampilkan di media
massa. Pada dasarnya teori ini menjelaskan bahwa indvidu dalam masyarakat pada
umumnya takut dan tidak mau terisolasi dari lingkungan sosialnya karena memang
masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengasingkan orang-orang yang memiliki
perilaku menyimpang dari perilaku mayoritas.
Noelle-Neumann juga menjelaskan bahwa daya
tangkal (kepala batu) khaayak bisa dilemahkan oleh lingkar kebisuan yang juga
disebabkan oleh faktor serbaada (ubiquity)
yaitu media massa berada di mana-mana.Karena itu pula sulit dihindari oleh
khalayak, sehingga media massa mampu mendominasi lingkungan informasi.
Teori lingkar kebisuan Noelle-Neumann
menunjukkan bahwa komunikasi politik antarpersona dan media massa berjalan
bersama dalam pembentukan opini publik sebagai salah satu tujuan komunikasi
politik.
sumber : Ringkasan BAB III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami Apresiasi Setiap Pembaca dan Pengutip mencantumkan Blog kami jika melakukan pengutipan semua atau sebagian isi yang ada dalam BLOG ini,