Jumat, 20 November 2015

Paradigma Komunikasi Politik



A.    Paradigma Komunikasi Politik

Paradigma adalah sudut pandang terhadap sesuatu, dalam ilmu komunikasi paradigma ilmunya berkembang sangat pesat. Selain komunikasi sebagai ilmu sosial yang terus berkembang, paradigma yang mempengaruhinya ikut berkembang secara revolusioner.

Paradigma lama dan baru saling mempengaruhi membentuk ilmu komunikasi semakin dalam dan luas. Perkembangan paradigma komunikasi tersebut secara tidak langsung berpengaruh juga pada perkembangan sudut pandang pada komunikasi politik, sebagai bagian dari ilmu komunikasi yang terus berkembang.

Ada 4 paradigma yang dikenal mempengaruhi tumbuh kembang ilmu komunikasi termasuk di dalamnya komunikasi politik.

1.      Paradigma Mekanistis
Paradigma ini menjelaskan bahwa Komunikasi sebagai suatu proses, dipahami sebagai suatu proses dipahami sebagai suatu mekanisme yang berjalan dari...., ke...., melintasi ruang dan waktu dari satu titik ke titik lainnya. Komponen-komponen dalam model mekanistis sangat jelas, yaitu sumber/penerima, saluran, pesan/umpan balik, dan efek. Sesuai dengan doktrin mekanisme (idealisme mekanistis), yang berdasarkan cara berpikir sebab-akibat, titik berat kajiannya adalah pada efek.
Dalam komunikasi politik (KP) Dan Nimmo menjabarkan formula Lasswel, bahwa dalam KP terdapat unsur-unsur yang dapat dikenal, yaitu komunikator politik, pesan politik, media politik, khalayak politik, dan efek politik.
Efek Politik telah menjadi pusat kajian politik dalam paradigma mekanistis study tentang efek semakin berkembang sejalan dengan kekhawatiran banyak orang akibat atau dampak media massa (termasuk globalisasi informasi) terutama media elektronik (ingat misalnya gagasan McLuhan tentang Desa Jagat dan Novel Barve New World 1984).
Doktrin mekanisme juga mengajarkan bahwa selain efek itu bisa diramalkan, juga bisa diciptakan (direkayasa), dengan menghilangkan kendala atau rintangan yang mungkin terjadi melalui suatu perencanaan pada awal.
Walaupun paradigma ini mulai memudar seiring dengan perkembangan zaman, namun dalam komunikasi politik  dan studi mengenai pendapat umum, propaganda, perang urat saraf, kampanye, pengaruh media massa pada terhadap sosialisasi politik dan peranan komunikasi terhadap pasrtisipasi politik, masih sangat dominan.  

2.      Paradigma Psikologis
Paradigma Psikologis ini menjelaskan bahwa komunikasi dikonseptualisasikan sebagai penerimaan dan pengolahan informasi pada diri individu. Perspektif yang dipengaruhi secara sporadis oleh psikologi itu adalah mengadaptasikan konsep S – R  dalam komunikasi. Sehingga eksistensi empiriknya (fokusnya) tidak terletak dalam saluran sebagaimana paradigma mekanisits melainkan fokus pada diri individu.
Filter konseptualisasi itu dapat digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif, tanggapan dan persepsi yang dapat menjadi perangkap atau penyerap dari semua rangsangan yang menyentuh individu.  Dengan demikian komunikasi dalam model psikologi merupakan masukan dan luaran stimuli yang dikembangkan dan diseleksi dari stimuli yang terdapat di dalam lingkungan informasi.Karena itu situasi komunikasi ditandai oleh medan stimuli yang terstruktur dan derajat kesengajaan di pihak komunikasi.
Unsur komunikasi dalam paradigma ini bukan lagi komponen-komponen yang dikemukakan Lasswell melainkan stimulus dan respon dengan fokus kajian pada individu. 
Dalam batas tertetntu orientasi para penerima dari model ini merupakan reaksi atas model mekanisits.  Dengan fokus pada individu paradigma psikologi telah memberikan penekanan pada komunikasi intrapersona dibanding perspektif lainnya.

3.      Paradigma Interaksional
Paradigma yang ketiga ini merupakan raksi terhadap kedua model terdahulu. Dalam perspektif ini menurut Fisher, komunikasi dikonseptualisasi sebagai interaksi manusiawi pada masing-masing individu. Karakteristik utama dari perspektif ini adalah penonjolan nilai individu di atas yang lainnya.. Karena manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan serta masyarkat dan buah pikiran. Paradigma Interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan sebagai komunikasi dialogis atau atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Ini adalah reaksi humanitas terhadap mekanisitis yang monolog. Unsur fundamental dalam dalog adalah melihat yang lain atau memandang pihak yang lain sehingga proses dasar dalam dialog adalah konsep pengambilan peran. Hal ini memungkinkan individu menemukan dna mengembangkan diri melalui interkasi sosial karena di dalamnya terkandung ikatan empatis, identifikasi diri dan saling pengertian.
Komponen komunikasi dalam model ini sangat berlainan dari model terdahulu yaitu peran, orientasi, kesearahan, konsep kultural dan adaptasi. Sehingga kosep yang dikemukakan Lasswell menjadi tidak penting karena titik berat kajian perspektif ini adalalah tindakan sosial atau tindakan bersama. Dalam komunikasi dialogis, konsep kultural menempati posisi penting. Dengan demikian komunikasi tidaklah bebas nilai, sehingga dengan paradigma ini kita dapat membicarakan komunikasi politik yang khas Indonesia yakni musyawarah dan mufakat. Dengan demikian, Konteks kultural dan sistem sosial yang menjadi kerangka medan komunikasi telah membawa komunikasi dan komunikasi politik keluar dari “tempurung mekanistis” yang klasik itu.

4.      Paradigma Pragmatis
Paradigma ini memusatkan perhatian pada pragma dan tindakan.  Jika dalam model interaksional, tindakan yang diamati adalah tindakan sosial dalam konteks kultural, maka   dalam model ini tindakan yang diamati adalah tindakan atau perilaku yang berurutan dalam konteks waktu sebuah sistem sosial. Tindakan tersebut dapat berupa tindakan, ucapan dan perilaku.
Dalam paradigma psikologi, orientasi pada penerima sebagai hasil pengolahan informai secara internal dalam diri individu, maka dalam perspektif ini orientasinya pada perilaku komunikator dalam sebuah sistem  sosial. Perilaku dan tindak bukan merupakan hasil atau efek dari proses komunikasi, melainkan tindak dan perilaku itu sendiri sama dengan komunikasi.
Dengan demikian komponen pokok dalam perspektif ini adalah pola interaksi, fase, siklus, sistem, struktur dan fungsi. Paradigma ini tidak lagi berbicara tentang komponen komunikasi menurut Lasswell, melainkan ucapan-ucapan yang terpola dan pola tindakan atau pola perilaku dalam waktu tertentu.

B.   Teori dan Model Dasar Komunikasi Politik
Ada beberapa teori media komunikasi politik yang perlu dikenal yaitu; 1) teori Media Kritis, 2) Teori Permainan dan Teori Parasosial, 3) Teori Guna dan Kepuasandan 4) Teori Lingkar Kebisuan.
Pemaparan teori Guna dan Kepuasan dikemukakan juga 3 teori tentang pertemuan khalayak dengan media massa yaitu; 1) teori perbedaan individu, 2) teori kategori sosial dan 3) teori hubungan sosial. Sedangkan teori agenda setting dan framing diuraikan dalam paparan tentang teori lingkar kebisuan.

1.      Teori Jarum Hipodermik
Paradigma mekanistik menghasilkan dua asumsi dasar.
Pertama; penerima atau khalayak pasif atau tidak berdaya ketika menerima pesan dari komunikator. Artinya komunikator dengan mudah mempengaruhi komunikan atau khalayak.
Kedua; media massa sangat perkasa bahkan kekuatannya mendekati gaib. Artinya bahwa setiap pesan yang disalurkan oleh media massa dengan mudah mempengaruhi khalayak. Bahkan McLuhan (1964) menyebutkan bahwa media massa itu sendiri adalah pesan. Konsep khalayak pasif dan asumsi media sangat perkasa ini melahirkan teori-teori dasar dengan nama yang berbeda seperti; hypodermic needle theory (teori jarum hipodermik) dan the bullet tehory of communication.
Wilbur Schramm, adalah ahli yang produktif mengembangkan teori ini dalam perkembangan ilmu komunikasi. Dalam kerangka teori dasar tersebut Schramm memperkenal konsep komunikasi pembangunan.dan Rogers and Schoemaker mengembangkan komunikasi pembaruan.
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik selalu memandang bahwa pesan politik apapun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau melalui media massa pasti menimbulkan efek yang positif berupa cara yang baik, penerimaan atau dukungan.
Namun asumsi tersebut tidak benar seluruhnya  karena sangat tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di samping daya tarik, isi dan kredibilitas komunikator. Di negara-negara demokrasi, teori jarum suntik dan teori peluru ini dibangkitkan dan berkembang melalui teori agenda setting. Model ini dimulai dengan asumsi bahwa media menyaring berita, artikel dan tulisan yang disarikan dan memusatkan perhatian pada efek afektif dan behavioral, sedangkan teori jarum suntik dan teori peluru memusatkan perhatian pada aspek kognitif khalayak. Teori Agenda Setting diperkenalkan oleh Maxwel E. M. Comb dan Donald S. Shaw.
Teori hipodermi, teori peluru dan teori sabuk transmisi selanjutnya digambarkan dalam bentuk model-model linear. 

2.      Teori Khalayak Kepala Batu
Gugurnya teori khalayak pasif dan asumsi media perkasa, munculah asumsi bahwa khalayak aktif dan sangat berdaya dalam setiap proses komunikasi politik. Bahkan khalayak memiliki daya tangkap dan daya serap terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya.  Dalam hal ini  para pakar Ilmu Komunikasi kemudian mengakui, termasuk Wilbrur Schramm dan Roberts yang mengoreksi teori mereka dan menerima ada teori baru yakni teori khalayak kepala baru. (the obstinate audience theory).
Teori khalayak kepala batu dikembangkan oleh Raymond Bauer, bahkan sudah diperkenalkan oleh I. A. Richards tahun 1936. Robert Bauer mengkritik potret bahwa khalayak sebagai robot yang pasif. Teori khalayak kepala batu menggeser fokus penelitian dari komunikator kepada komunikan atau khalayak. Mereka mengkaji faktor-faktor yang membuat individu itu mau menerima pesan komunikasi. Maka lahirlah salah satu teori yaitu teori guna dan kepuasan, yang dikembangkan oleh Elihu Katz, Jat C. Blumer dan Michael Gurevitch (1974).  Teori khalayak kepala batu dan teori guna dan kepuasan dimasukan ke dalam kelompok teori dari perspektif atau paradigma psikologis dari komunikasi politik.

3.      Teori Empati dan Teori Hemofili
Persuasif yang positif berkaitan dengan teori empati dan teori homofili. Teori empati dikembangkan tidak hanya oleh pakar ilmu komunikasi melainkan juga pakar psikologi seperti Berlo dan Daniel Larner.  Sedangkan teori homofili dikembangkan oleh Everet M. Roger dan F. Schoemaker. Secara sederhana, empati dikatakan sebgai kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. Disinilah David K. Berlo memperkenalkan influence theory. Selanjutnya Daniel Larner melihat empati sebagai kemampuan melihat diri sendiri dalam situasi dan kondisi orang lain. Sementara homofili dapat digambarkan sebagai suasana dan kondisi kepribadian dan kodisi fisik dua orang yang berinteraksi  karena memiliki kesamaan usia, bahasa, pengetahuan, kepentingan, organisasi, partai, agama, suku bangsa dan pakaian. Dalam komunikasi politik homofili dengan mudah dlihat pada para politikus dan kader politik di Indonesia yaitu memiliki kostum yang seragam.
Selanjutnya empati dan homofili dalam komunikasi politik diaplikasikan dalam bentuk ideologi politik yang sama, doktrin politik dan simbol politik yang sama. Teori-teori tersebut oleh para pakar digambarkan juga dalam bentuk model yaitu model pertukaran sosial, model peranan dan model interaktif. Model-model tersebut berbeda dengan model-model lonear yang dikembangkan dari kelompok partisipatif yang akan menjadi perhatian dalam komunikasi politik yang demokratis. 

4.      Teori Informasi dan Nonverbal
Para pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teori informasi yang banyak digunakan dalam kegiatan komunikasi politik. Teori informasi (dan teori sistem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan menjelaskan paradigma pragmatis yang intinya sama yaitu bertindak adalah berkomunikasi. Artinya semua tindakan politik dapat dipandang sebagai komuniksi politik yang bersifat non verbal. Informasi memiliki beberapa pengertian;
Pertama; informasi dipahami sama dengan pesan, sebagaimana yang dianut dalam proses komunikasi mekanistis.
Kedua; informasi adalah data yang sudah diolah sebagaimana yang dipahami dalam sistem informasi manajemen.
Ketiga; informasi adalah segala sesuatu yang mempunyai ketidakpastian atau mempunyai sejumlah kemungkinan alternatif, sebagaimana yang dianut dalam teori informasi yang sedang dibahas ini.
Menurut Fisher, teori informasi diartikan sebagai pengelompokan peristiwa-peristiwa dengan fungsi dan tujuan untuk menghilangkan ketidapastian. Sehingga dapat dikatakan bahwa informasi politik dalam teori informasi pada hakekatnya adalah komunikasi politik yang bersifat nonverbal. Dengan demikian menurut teori informasi tidak ada satu pun tindakan politik para politisi atau kader partai yang bukan komunikasi politik, tetapi dapat dipandang sebagai komunikasi politik nonverbal. Aplikasi teori informasi dalam komunikasi politik dalam beberapa bentuk, seperti;
1). Memasang bendera umbul-umbul, spanduk dan memperdengarkan musik karena akan ada upacara partai politik
2). Memakai pakaian seragam karena akan ada pertetmuan partai
3). Mempromosikan anggota partai yang memiliki prestasi.
Akhirnya tindakan politik dan perilaku politik tidak saja dianalisa sebagai komunikasi politik, tetapi juga lahir sebagai bidang studi dalam ilmu politik yang dikenal dengan nama Perilaku Politik.

C.   Teori Media Komunikasi Politik

1.      Teori Media Kritis
Dalam komunikasi politik berkembang juga teori media kritis yang tidak termasuk dalam paradigma yang disampaikan di atas atau biasa disebut teori komunikasi kritis, yang berkembang di Eropa khususnya Jerman. Teori Media Kritis menurut Hollander (1981),  adalah merupakan teori media yang menempatkan konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam mempelajari media massa. Dalam koteks ini dapat diketahui bahwa eksistensi media massa dalam berfungsi, banyak dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan dan sejarah. Berangkat dari aspek kemasyarakatan, pendukung teori media kritis seperti Ardorno dan Horkheimer (Arifin 1997:52), memandang bahwa media massa sebagai produsen utama dari kebudayaan massa. Media massa berusaha agar bukan lagi individu  yang menentukan apa saja yang termasuk dalam kehidupan untuk dikonsumsi. Ini kemudian berkembang menjadi pandangan bahwa media massa merupakan industri kebudayaan yang dilahirkan dalam budaya industri.
Berhubungan dengan hal di atas, Macuse menggunakan istilah masyarakat satu dimensi untuk menunjukkan bahwa masyarakat yang  lahir dari dukungan budaya industri. Aliran Frankfurt memberikan penekanan kepada masalah media sebagai suatu mekanisme ampuh yang memiliki kemampuan dalam mengarahkan perubahan. Para ahli teori kritis dan penganut Aliran Frankfurt dapat disebut melakukan upaya yang mengkombinasikan pandangan serba media dan pandangan serba masyarakat, karena pandangan mereka mengenai kekuasaan media tidak terlepas dari pengaruh masyarakat sehingga tataran  yang berlaku tidak perlu diubah.
Teori media kritis bertolak belakang dengan teori media massa lainnya seperti; teori perseptual dan teori fungsional yang justru kedua teori itu memberikan tekanan kepada akibat apa yang dilakukan oleh media massa terhadap orang. Namun teori fungsional kemudian mengalami sedikit pergeseran yaitu memusatkan kajian kepada pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak dari media massa danmengapa hal itu dapat diperoleh. 

2.      Teori Permainan dan Teori Parasosial
Komunikasi Politik mengenal juga Teori Permainan karena politik dari perspektif publik disebutnya permainan. Teori permainan yang dikembangkan oleh William Stephensen yang menjelaskan bahwa mengikuti pesan melalui media hanyalah demi kesenangan. Teori kesenangan yang diturunkan dari gagasan kesenangan berkomunikasi, kegembiraan yang diperoleh orang, dari berbicara dengan tidak mengharapkan sesuatu, hiburan menonton televisi adalah tanpa tujuan atau kepuasan dalam nonton film. Sebaliknya teori informasi menurut Stephensen, tidak lain dari derita berkomunikasi, misalnya berkomunikasi  agar lebih berpengetahuan dan berpendidikan untuk memecahkan masalah.
Teori Permaianan sangat erat dengan komunikasi politik, karena Menurut Stephensen, bahwa politik itu tidak lain dari permainan. Permainan membangun citra dan menggairahkan pikiran yang bukan saja dapat menyenangkan tetapi dapat membuat kejutan. Menurut Edelmann, sebagian besar dari komunikasi politik adalah estetika terutama komunikasi politik massa. Para pakar kemudian menggambarkan teori parasosial dengan pandangan bahwa media massa berfungsi dalam memenuhi kebutuhan manusia akan interaksi sosial. Hubungan komunikasi politik dengan khalayak politik hanya dapat terjadi  jika media massa  memberikan peluang bagi hubungan parasosial. 

3.      Teori Guna dan Kepuasan
Salah satu teori yang dapat dimasukan ke dalam kelompk teori khalayak kepala  batu adalah teori guna dan kepuasan. Teori ini menjelaskan bahwa semua orang yang menanggapi pesan melalui media massa menunjuk kepada kegunaan dan kebutuhan tertentu yang dipenuhi oleh media massa seperti informasi, hiburan dan pendidikan. Dalam hal ini media memiliki kegunaan dan memenuhi kepuasan khalayak. Teori ini menjelaskan bahwa media massa berfungsi untuk memenuhi kepentingan hiburan, hubungan personal dan identitas pribadi.
Teori ini dikembangkan oleh Elihu Katz, Jay C. Blumer dan Michael Guveritch. Model ini dibangun dengan asumsi dasar bahwa manusia adalah mahkluk yang sangat rasional dan sangat aktif, dinamis dan selektif terhadap semua pengaruh dari luar dirinya. Reaksi yang diberikan khalayak terhadap terpaan media didasarkan pada reaksi terhadap kegunaan dan kepuasan individu. Dengan teeori ini kajian komunikasi bergeser dari komunikator kepada khalyak yang dikenal dengan istilah khalayak aktif. Berdasarkan hal tersebut, De Fleur dan Ball-Rokeach (1975), menyatakan bahwa pertemuan khalayak dengan media massa dapat didasarkan kepada tiga kerangka teori;
a.      Teori Perbedaan Individu ;
b.      Teori Kategori Sosial
c.       Teori Hubugan Sosial

4.      Teori Lingkar Kebisuan
Salah satu teori yang berkaitan dengan opini publik adalah teori lingkar kebisuan yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Elizabeth Noelle-Neuwmann (1873)  dari Jerman. Teori ini menjelaskan bahwa lingkar kebisuan dapat merupakan mayoritas khalayak yang membisu atau berdiam meskipun setuju dan memberi dukungan terhadap suatu kebijakan publik. Namun bisa dikalahkan oleh minoritas yang anti kebijakan tersebut karena sering ditampilkan di media massa. Pada dasarnya teori ini menjelaskan bahwa indvidu dalam masyarakat pada umumnya takut dan tidak mau terisolasi dari lingkungan sosialnya karena memang masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengasingkan orang-orang yang memiliki perilaku menyimpang dari perilaku mayoritas.
Noelle-Neumann juga menjelaskan bahwa daya tangkal (kepala batu) khaayak bisa dilemahkan oleh lingkar kebisuan yang juga disebabkan oleh faktor serbaada (ubiquity) yaitu media massa berada di mana-mana.Karena itu pula sulit dihindari oleh khalayak, sehingga media massa mampu mendominasi lingkungan informasi.
Teori lingkar kebisuan Noelle-Neumann menunjukkan bahwa komunikasi politik antarpersona dan media massa berjalan bersama dalam pembentukan opini publik sebagai salah satu tujuan komunikasi politik.

sumber : Ringkasan BAB III 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kami Apresiasi Setiap Pembaca dan Pengutip mencantumkan Blog kami jika melakukan pengutipan semua atau sebagian isi yang ada dalam BLOG ini,